KUTIM — Sengketa lahan antara 3 kelompok tani dengan Pemerintah Kutim kembali memanas.
Bahkan warga sempat memblokir jalan Kenyamukan pada Rabu 17 Desember 2025, kemarin.
Konflik atau sengketa lahan ini sebenarnya sudah berlangsung sejak 2010 silam.
Kuasa hukum Kelompok Tani Karya Tani, Karya Insani, dan Maminasae, Sugianto Mustamar, pun mendesak Bupati Kutim ambil langkah diskresi atas masalah ini.
Dalam rapat bersama DPRD dan pemerintah daerah, pembahasan baru difokuskan pada Kelompok Tani Maminasae.
Sementara 2 kelompok lainnya belum dibahas secara substansial.
Padahal, ketiga kelompok tersebut sama-sama menuntut kejelasan penyelesaian hak atas lahan yang digunakan untuk pembangunan jalan.
Untuk kasus Maminasae, Sugianto menyebut telah ada kesepakatan.
4 surat yang sebelumnya diajukan dan sempat dijadikan dasar oleh tim fasilitasi disepakati untuk tidak digunakan.
Penyelesaian akan mengacu pada Surat Induk 1989, yang dinilai sebagai langkah positif dan menunjukkan itikad baik pemerintah.
“Harapan kami setelah ada kejelasan penyelesaian, tidak lagi terjadi gesekan. Khususnya di Kanal 3,” ujar Sugianto, Kamis 18 Desember 2025.
Apa Solusinya?
Pun demikian, ia mengaku kecewa atas lambannya penanganan Kelompok Tani Karya Tani dan Karya Insani.
Dalam berita acara sebelumnya, penyelesaian dijanjikan dalam waktu 14 hari.
Namun hingga kini sudah berjalan lebih dari 4 bulan tanpa kepastian. Kondisi ini jelas mengecewakan.
“Pemerintah seharusnya mempercepat prosesnya. Sekarang ini sudah bisa dibilang injury time,” tandasnya.
Sugianto menegaskan, satu-satunya solusi yang realistis adalah diskresi kepala daerah. Seperti diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 Pasal 22 hingga 27.
Kata dia, proyek jalan itu dibangun 15 tahun lalu. Sementara aturan pengadaan tanah yang berlaku saat ini tidak relevan menyelesaikan persoalan lama.
“Diskresi Bupati Kutai Timur sangat diperlukan. Itu sah secara UU dan menjadi kunci penyelesaian masalah ini,” katanya.
Sebagai bentuk tekanan, kelompok tani sebelumnya sempat melakukan pemblokiran jalan.
Ke depan, Sugianto menegaskan kelompok tani bakal sambangi Kantor Bupati Kutim untuk menunggu jawaban langsung.
Meski demikian, ia menegaskan pihaknya tidak akan menempuh jalur litigasi dan tetap mengedepankan penyelesaian melalui pemerintah.
Tanggapan Pemkab
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanahan Kutai Timur, Simon Salombe, menegaskan Pemda terikat aturan yang berlaku saat ini.
Katanya, pembangunan jalan tersebut dilakukan pada 2010, sementara mekanisme pengadaan tanah saat ini mengharuskan pengadaan terlebih dahulu sebelum pembangunan.
Regulasi yang mereka gunakan adalah PP Nomor 19 Tahun 2021 dan Permen ATR Nomor 20 Tahun 2021.
“Aturan itu tidak memungkinkan pembayaran tanah setelah pembangunan selesai,” jelasnya.
Lebih jauh menurut Simon, pemerintah tak bisa menggunakan aturan berlaku surut. Sebab berisiko melanggar hukum.
Jika pembayaran dipaksakan tanpa dasar hukum yang kuat, maka berpotensi temuan dan menyeret pejabat ke ranah pidana. “Itu bisa jadi temuan dan pelanggaran,” tukasnya.
Solusi paling aman secara hukum melalui pengadilan. Dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, pemerintah punya dasar sah untuk membayar.
“Kalau pengadilan memutuskan pemerintah harus membayar, tentu akan kami bayar,” pungkasnya.(Caca)










